Tolak kehadiran TNI di Lahan Adat, Warga Maluku blokade jalan

Daftar isi:
Warga adat Negeri Kaibobo, yang terletak di Kecamatan Kairatu Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, melakukan aksi blokade dengan menggunakan batang pohon besar pada Kamis (25/). Tindakan tersebut mengakibatkan total lumpuhnya akses transportasi antar kabupaten di Pulau Seram, sebagai wujud protes terhadap rencana pembangunan Batalion TNI Kodam XVI/Pattimura di atas lahan adat mereka.
Aksi blokade ini merupakan gambaran nyata dari ketidakpuasan masyarakat terhadap keputusan yang dianggap mengabaikan hak-hak ulayat mereka. Blokade tersebut menciptakan ketegangan yang melibatkan aparat keamanan dan warga setempat.
Dandim Seram Bagian Barat, Letkol Inf Rudolf Faulus, turun untuk meredakan situasi. Namun, upayanya tersebut tidak berjalan mulus, dan ia terlibat perdebatan dengan warga yang menuntut hak atas tanah adat mereka.
Polemik Pembangunan dan Hak Ulayat yang diabaikan
Masalah utama yang dihadapi warga Kaibobo adalah rencana pembangunan yang dianggap akan merusak dan mengalihkan hak atas tanah ulayat mereka. Protes ini mencerminkan rasa kepemilikan yang kuat terhadap tanah dan tradisi yang telah diwariskan selama bertahun-tahun.
Warga menganggap pembangunan yang direncanakan pemerintah akan menghancurkan kehidupan sosial dan budaya mereka. Ketidakpuasan ini muncul karena mereka merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Aksi blokade ini merupakan sinyal bahwa warga Kaibobo bertekad untuk memperjuangkan hak-hak mereka. “Kami tidak memiliki lawan dengan aparat keamanan, kami hanya mempertahankan hak ulayat kami,” tegas seorang perwakilan warga di lokasi aksi.
Interaksi antara Aparat Keamanan dan Masyarakat
Letkol Rudolf, dalam upayanya untuk meredakan ketegangan, mengingatkan bahwa jalan yang diblokade merupakan jalan umum. Dia berusaha untuk mengatasi masalah dengan pendekatan dialog, namun respons warga menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap situasi yang mereka hadapi.
“Kami mempertahankan hak ulayat kami, karena pemerintah telah mengabaikan hak-hak adat kami,” jawab salah seorang warga yang terlibat dalam aksi protes. Kontroversi ini semakin mendalam ketika Raja Negeri Kaibobo, Alex Kuhuwael, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pembangunan yang dilakukan di lahan yang ia klaim bukan merupakan milik desa.
Ketegangan di lokasi aksi menunjukkan betapa rumitnya dinamika antara warga dan aparatur negara. Masyarakat merasa terpinggirkan dalam proses yang seharusnya melibatkan mereka.
Pertemuan dengan Pihak Berwenang dan Harapan untuk Penyelesaian
Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, Asri Arman, beserta Wakil Bupati Silfanus Kainama, mengunjungi lokasi untuk mendengarkan aspirasi warga. Mereka berjanji untuk menuntaskan persoalan lahan adat yang telah berlangsung lama.
Usai pertemuan, Bupati Arman menjanjikan akan mengundang semua pihak terkait, termasuk Kepala Desa Administrasi Waisamu dan Kepala Desa Eti, untuk membicarakan solusi terbaik. Hal ini menjadi langkah positif menuju resolusi damai bagi semua pihak.
Aksi blokade yang dilakukan oleh warga Kaibobo tidak bertujuan untuk menciptakan konflik. Sebaliknya, mereka berharap adanya dialog yang konstruktif untuk menyelesaikan permasalahan hak ulayat yang telah lama terabaikan.
Warga berharap bahwa hak-hak mereka akan diakui dan dilindungi, mengingat pentingnya pengakuan tanah adat bagi keberlangsungan hidup dan budaya masyarakat. Ketegangan yang terjadi di lapangan menggambarkan perasaan yang mendalam tentang keadilan dan pengakuan terhadap identitas mereka.
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now